Unbox.id – Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (MenKopUKM) Teten Masduki mengatakan TikTok dilarang mengoperasikan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mencegah praktik monopoli yang merugikan UMKM lokal. Terkait adanya aturan yang mengatur perdagangan sosial, Presiden Komunitas Pemberdayaan Digital Indonesia (IDIEC) Tesar Sandikapura mengatakan, pemerintah sebaiknya melakukan diskusi terlebih dahulu dengan pemangku kepentingan terkait. Selain itu, di era digital saat ini, regulasi merupakan tantangan yang perlu mendapat perhatian. Karena perkembangan teknologi selalu bergerak lebih cepat dibandingkan regulasinya sendiri.
Regulasi E-commerce Bisa Menjadi Mix and Match
“Pemerintah harus menghimbau kepada seluruh pemangku kepentingan. Ada titik temu ketika hal ini terjadi, karena peraturan pada dasarnya melindungi semua pihak, termasuk platform, penjual, termasuk penerbit. Air,” kata Tesar dalam seminar untuk jurnalis bertajuk “Dampak Social Commerce Terhadap UMKM di Indonesia” yang diselenggarakan oleh FORWAT.
Oleh karena itu, dia meminta setiap pihak yang terlibat harus memikirkan matang-matang mencari jalan tengah agar pembatasan tidak dilakukan begitu saja. Peraturan terkait e-commerce diharapkan dapat menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pemangku kepentingan.
Tesar juga mengatakan, kebijakan negara lain yang melarang hal serupa belum tentu diterapkan di Indonesia. Sebab peraturan tersebut dibentuk tergantung situasi dan kondisi masing-masing negara.
Sementara itu, pakar ilmu perilaku dan pemasaran Ignatius Untung mengatakan konsep social commerce yang dikemukakan oleh social commerce sudah ada di Indonesia sejak beberapa tahun lalu. Namun tren yang terjadi saat ini berbeda dengan yang diketahui sebelumnya.
Kehadiran Social Commerce Tidak Berdampak Langsung pada UMKM
Ia juga menyoroti dampak negatif social commerce terhadap UMKM di Tanah Air. Menurut Untung, kegiatan social commerce sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan kegiatan yang dilakukan UMKM.
Menurut Untung, meski terkesan UMKM dipengaruhi oleh aktivitas social commerce, namun nyatanya hal tersebut hanyalah sebuah bentuk kompetisi bisnis. “Social commerce dan UMKM tidak memiliki hubungan yang merugikan,” ujarnya.
Oleh karena itu, alih-alih memisahkan perdagangan sosial, UMKM bisa didorong untuk menggunakan cara ini sebagai sarana penjualan. Sebab menurutnya, e-commerce jenis ini tidak lebih dari sekedar saluran penjualan sederhana.
Untung berpendapat bahwa hal penting yang juga harus diperhatikan oleh para pelaku bisnis adalah kualitas produk. Dengan begitu, para pengusaha tersebut bisa bersaing.
Terkait persoalan figur publik yang bisa meraup untung lebih besar dengan membeli langsung di media sosial, Untung menilai hal itu tidak bisa begitu saja ditentukan oleh peraturan. Yang bisa dilakukan pemerintah hanya sebatas rekomendasi.
Usulan ini berlaku bagi tokoh masyarakat yang ikut serta dalam belanja langsung, termasuk pemilik platform. Oleh karena itu, tokoh masyarakat diimbau untuk menciptakan peluang bagi para pengusaha untuk memasarkan produknya.
“Platform tersebut kemudian bisa ‘bertujuan’ untuk membantu UMKM mengkomersialkan usahanya. Dengan begitu, semua orang bisa maju bersama tanpa ada yang merasa risih,” ujarnya di akhir keterangannya.
Baca juga: Dobrak Tantangan Untuk Optimalkan Teknologi Pengembangan Bisnis Di Indonesia
Kata Pengamat Soal Tren Social Commerce yang Kian Populer di Indonesia
Terutama konten belanja langsung. Dapat dikatakan bahwa social commerce adalah fenomena pembelian secara online langsung melalui jejaring sosial.
Meski ilmuwan pemasaran dan perilaku Ignatius Untung terbilang pendatang baru, namun tren social commerce ini sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Namun bentuknya tidak lagi sama seperti sekarang.
Menurut Untung, social commerce – seperti TikTok – kini populer karena menawarkan pengalaman berbeda. Ia percaya bahwa jejaring sosial seperti TikTok atau YouTube pada dasarnya adalah platform konten hiburan.
Format ini berbeda dengan Instagram atau Facebook yang dibentuk melalui lingkaran pertemanan. Jadi, orang yang mengunjungi aplikasi media sosial seperti TikTok atau YouTube pada awalnya akan mencari konten yang menghibur.
“Sebenarnya sama saja ketika konsumen mengunjungi pusat perbelanjaan yang tidak semuanya ingin membeli sesuatu. Kebanyakan dari mereka mungkin ingin jalan-jalan, tapi ketika melihat sesuatu, mereka akan membeli,” ujarnya saat diwawancarai wartawan.
Lokakarya bertajuk “Dampak Social Commerce terhadap UMKM di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Forum Jurnalis Teknologi (Forwat).
Sumber & Foto: Dari berbagai sumber
Karya yang dimuat ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi unbox.id.